Rabu, 13 Maret 2013

TIDAK SEMUA WARTEG PEDAGANGNYA ORANG TEGAL

Tidak semua warteg (warung tegal) pedagangnya orang Tegal, tetapi bisa juga orang Pekalongan, Brebes, Pemalang, atau orang Banyumas. Kadung sing awit-awit dodol iku wong Tegal , Sudah terlanjur yang mempopulairkan warung nasi di kota-kota itu adalah orang Tegal dan disebut Warung Tegal dan populair dengan singkatan warteg maka masyarakat menyebut setiap warung nasi yang menjual nasi dan lauk khas seperti tempe, sayur asem, sayur lodeh, pepes ikan, jamur, peda, bakwan , oreg tempe, dan lalapan itu disebut warung tegal atau warteg. Padahal bukan tidak mungkin pedagang warung nasi itu adalah penduduk sekitar kota itu dan bukan orang tegal asli yang menetap atau datang berdagang di kota itu.
   Inilah yang menjadi suatu pertanyaan mengapa demikian? Tidak seperti rumah makan padang yang dibuka di hampir setiap kota ada, pasti yang mengelola orang padang atau setidaknya orang Minang Sumatra Barat. Kalaupun ada rumah makan padang milik orang jawa, maka juru masaknya pasti orang Padang. Hal ini dikarenakan masakan padang memiliki masakan khas yang hanya dimengerti/ dipelajari oleh orang padang saja.
   Permasalahan ini dikarenakan masakan khash Tegal asli bukan tidak bisa dibuat di luar daerah tegal tetapi khas asli Tegal itu mudah dibaca resepnya atau dimasak aleh orang kebanyakan. Tidak ada menu yang sulit dan memerlukan koki yang khusus. Saya kira membuat tahu aci banyak ibu-ibu pandai membuatnya, begitu kata seorang pedagang  warteg  di daerah Bekasi. Hanya tahu -nya mungkin yang berbeda rasa karena produksi setempat.
   Kemudian sayur asem dan sayur lodeh yang menjadi khas warteg lainnya juga mudah buat oleh ibu-ibu tumah tangga. Jadi yang berbeda apanya?
   Menurut Susanto tokoh budaya nasionalis asal Brebes Jawa Tengah mengatakan bahwa yang membedakan warteg asli Tegal dan warteg dari pedagangnya yang bukan orang tegal adalah karakteristik pelayannya/penjualnya. Yakni bahasa, dialek tegal dan perilaku itu saja , katanya. Menurutnya wong tegal tetap memiliki suara dasar asli Tegal meskipun bicara menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian karakter pelayannya juga terlihat jika orang tegal yakni sopan dan menghargai pembeli, kata-kata monggo, mas, mbak, bapake, mba'e, bune (ibune) sering terdengar di mulut pelayan itu sebagai ucapan mengiring sopan santun.
   Sedangkan karakter lain yaitu perilakunya yang membuat siapa pun berdecak kagum seperti tidak tegaan jika menghadapi pembeli atau oarang yang datang meminta makan dengan uang kurang atau bahkan gratis sekalipun tetap dilayani dengan sopan. Tidak memandang siapa pembelinya, miskin atau orang kaya, pejabat atau buruh, pekerja atau pengangguran tetap dilayani dengan sopan. Pendek kata kekhas tegal ini tak akan terlihat di warteg yang bukan asli wong tegal.
   Khas Tegal lainnya adalah sistem swalayan (melayani sendiri) untuk mengambil lauk teman nasi, pebeli hanya dituntuk mengukur apa yang diambilnya saja. Jika uangnya pas boleh bertanya pada pelayannya, ini berapa Mbak? kalau mengambil telur dadar atau telur asin. Jadi jangan sampai walaupun swalayan nanti bayarnya pake ninggalkan jam tangan atau Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dan ini oleh pedagang warteg asli tegal tak dikehendaki. "Jangan pakai ini lagi , kapan-kapan kalau mampir lagi saja bayarnya." Demikian kata Om Santo sambil tertawa.
   (masagus, 14 Maret 2013)